Senin, 14 Juli 2008

NEW DOMAIN

Sekarang saya sudah punya domain sendiri. Pindah Cuiy....

Selasa, 29 April 2008

CD Dialog antar Umat Beragama Arimatea, Konfrontatif

Mencari harapan, untukku menyaksikan
umat yang berkuak ini kembali bersatu hati

buanglah yang keruh, ambilah yang jernih

tiada yang lebih berharga selain dari perpaduan

lupakanlah segala persengketaan

buka kembali tali persaudaraan….
Bersatu kita teguh, bercerai kita roboh…

[Raihan]

Terdapat tiga buah CD dalam satu paket dari Arimatea dengan judul yang sangat menyolok; "Debat, Muallaf vs Murtadin". Sekilas, sudah jelas ini merupakan debat bukan dialog dan bersifat saling mempertentangkan ajaran masing-masing, terlebih dengan penggunaan kata Versus (VS). Itikad pembuatan CD ini adalah jauh dari mempererat tali persaudarran antar sesama, sesama anak adam dan sesama bangsa Indonesia. Kemudian yang terjadi adalah proses konfrontatif, bukan dialogis sekalipun itu tanpa friksi-friksi fisik, tapi konfrontasi dan saling ejek dalam verbal.

Namun, saat CD diputar awalnya disenandungkan lagu dari Raihan yang liriknya mengandaikan indahnya tali persaudaraan dan kebersamaan. "Bersatu kita teguh, bercerai kita roboh…". Terhenyak sebuah pertanyaan, apa sebenarnya isi CD terebut? Berlahan mulailah terlihat Backdrop acara debat ini, ternyata bukanlah acara debat, namun acara dialog antar umat beragama yang secra teks bisa diartikan ber-orientasi pada kerukunan. Selama ini memang CD-CD dari Arimatea, yang beredar di khalayak umum merupakan bagian dari penyelamatan terhadap kristenisasi. Lalu mengapa acara tersebut bertema dialog bukan debat?

Acara yang ditayangkan di CD tersebut bertempat di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, dengan mayoritas 90% audience-nya adalah muslim. Suasana berlangsung sangat ramai bahkan panas dimana kedua belah pihak saling menghina kitab suci dan ajaran agama. Dari pembicara Muslim melihat ketidak wajaran ajaran kristen dan tidak konsistensinya kitab suci mereka, begitupun dari tokoh kristiani melihat Al-Qur'an penuh dengan ketidak pastian dan islam adalah agama yang rancu.

Hina-menghina ini akan terus berlangsung karena bagaimanapun ketika acara lintas Agama pembicaranya adalah para Muallaf dan Murtadin, tentu yang dibicarakan adalah jeleknya agama yang lalu, dan sempurnanya agama yang sekarang dipeluk. Artinya tidak mungkin ada bahasan selain saling menjelek-jelekan agama yang lain. Sekalipun kearifan muncul ketika yang disampaikan oleh pihak kristiani, mereka mengatakan "dialog ini bagus untuk mempersatukan kita anak adam, umat beragama dan bangsa Indonesia dalam sebuah pluralitas". Akan tetapi karena terbawa suasana, mereka-pun akhirnya kembali saling mendebat teologi masing-masing.

Ketika di akhir, dua orang dari umat kristiani --yang bukan menjadi nara sumber-- kembali mengingatkan, bahkan bisa dibilang mengkritisi acara tersebut.; "Bukankah disini tertulis sebagai acara dialog yang berusaha mencari titik temu kerukunan, bukan saling mendebat, mencari perbedaan dan menghina agama lain?!" Selanjutnya ditambahi oleh temannya yang berlatar belakang seorang akademisi sains, ia mengatakan bahwa pertemuan antar umat beragama sebaiknya adalah saling menjelaskan bagaimana agama tersebut, bukan bagaimana agama orang lain. Dari muslim menjelaskan bagaimana islam, dan Kristiani menjelaskan keindahan Kristen, jangan kemudian muslim berbicara kristen menurut dia, dan sebaliknya kristiani berbicara islam.

Sangat berbeda, pertemuan antar umat beragama yang di prakarsai oleh Arimatea ini, dengan sebuah dialog antar umat tokoh beragama [bukan seorang murtadin dan muallaf, yang jelas saling menentang] yang di fasilitsai oleh JIL pada 17 maret lalu di Teater Utam Kayu. JIL menghadirkan Romo Magnis [Katolik], Martin Lukito Sinaga [Protestan] dan K.H Husein Muhammad [Islam], bertiga duduk dalam satu meja memanjang membicarakan sebuah perjuangan Hak Manusia dalam Kebebasan berkeyakian, atau beragama dan tidak beragama. Sebuah suasana yang sangat hangat terbentuk dalam ruangan tersebut, dimana tiga agama yang berbeda bersatu padu memperjaungkan satu hal yang sama. Terlewati sudah batas-batas pembeda, tidak lagi [bahkan tidak samasekali] perbedaan yang diperlihatkan diantara mereka.

Sesekali ,Romo Magnis meledek Martin Lukito sebagai orang sesat, namun itu bukanlah ucapan yang saling menyesatkan. Melainkan justru sedang menyindir oarang-orang yang menganggap kelompoknya paling suci dan lainnya sesat, hina dan masuk neraka. Kadangkala K.H Husein Muhammad yang suka serius juga di buat tertawa oleh canda yang dibuat moderator tentang islam sebagai plagiator Yahudi. Bagi mereka tabir-tabir pembeda bukanlah masalah, tiada lagi kata hina-menghina. Karena inilah keindahan dari dinamisasi kehidupan, yang harus dipertahankan agar manusia mampu memanusiakan dirinya dan perbedaan adalah sarana bersaing dalam fastabiqul khairat.

Elit Agamawan Lebih Suka Cara Instan

Budaya instan mungkin sedang mengerogoti para elit agamawan bangsa ini, bukan saja para remaja dan masyarakat umum yang selalu ingin mendapatkan sesuatu secara instan, seperti cepat kaya, cepat sukses, cepat bahagia bahkan cepat dapat pasangan hidup. Dan kini elit agamawan dalam ketakutannya, dengan gegabah menginginkan agar manusia cepat beradab, atau juga disebut 'beradab secara instan'.

Ketakutan dan kegegabahan para elit agamawan tercermin ketika menghadapi zaman modern terutama pasca reformasi, dimana masyarakat makin kian terbuka. Norma lama, norma orde baru atau bahkan pancasila mulai dianggap ideologi usang yang sudah tidak menjamin, kadang sering kali juga dicemooh. Selanjutnya kondisi ini menimbulkan kekosongan identitas dan juga kekosongan simbolik, lalu kebingungan masyarakat pun semakin tidak terbendung. Maka lahirlah kultus-kultus identitas dan klaim-klaim absolutisme norma partikular, untuk mencari benang merah antar identitas masing-masing. Pada saat inilah agama dan identitas partikular dianggap sebagai alternatif yang paling tepat.

Dengan menguatnya norma dan identitas partikular yang saling mengklaim sebagai alternatif paling tepat, sesekali juga menyesatkan yang lain. Maka terjelaskanlah bahwa situasi ini merupakan utopisme berlebihan, dan ingin dirubah dalam tempo waktu yang singkat, atau instan. Problem solving secara instan tentunya tidak mengidentifikasi masalah secara mendalam serta memberi solusi yang tepat pada akar masalah, bahkan membuat masalah yang lebih besar lagi.

Misalnya dalam fenomena diwajibkannya jilbab, atau syari'at sebagai solusi untuk menjaga martabat perempuan. Maka sebenarnya akar masalahnya adalah saat dimana martabat perempuan yang mulai termarginalkan, bukan jilbab yang tidak terbudayakan atau syari'at islam yang tidak ditanamkan. Karena kenyataannya yang menjadi problem utama adalah budaya inferioritas perempuan dibawah laki-laki, perspektif bahwa perempuan adalah komoditas dan hak-hak perempuan yang dibatasi oleh budaya. Oleh karena itu, ini sesungguhnya merupakan problem mainstrem, bukan simbol-simbol atau norma partikular syari'at. Permasalahn ini akan lebih tepat dihadapi dengan perjuangan Gender -tidak instan-, yang selalu memperjuangkan pembangunan mainstream dikalangan masyarakat kita akan kesetaraan relasi laki-laki dan perempuan, hak yang sama, dekonstruksi budaya patriarki dan disertai dengan advokasi-advokasi konkrit.

Jika melihat sejarah, cara instan para elit kita tidak lain adalah menggunakan cara yang sama dipakai oleh Hitler, Stalin dan Soeharto. Mereka adalah para penganut utilitarian, berupaya membebaskan dan mensejahterakan rakyat, justru malah menindas rakyat sendiri. Elit kita dengan alih-alih menjaga martabat perempuan justru mengekang keberadaan perempuan itu sendiri. Semangat fasisme dan utilitarian sebenarnya tidaklah jauh berbeda dengan semangat instan para elit dengan simbol-simbol, identitas dan norma-norma partilkularnya.

Jumat, 25 April 2008

Hari Bumi

Sekilas, Peduli Alam

Tiada seekorpun binatang melata di bumi, dan tiada seekorpun burung yang terbang dengan kedua sayapnya melainkan mereka itu umat seperti kamu sekalian
( QS. Al-an’am/6:38
}

Hari ini manusia mungkin sangat egois, serakah dengan tekhnologi sebagai alat mempermudah kehidupan sesama manusia. Alam dijadikan komoditas, sumberdaya yang melimpah ruah dan tiada habisnya ribuan tahun diekspolitasi. Apa yang tidak manusia konsumsi jika bukan dari alam. Memang benar, manusia harus memanfaatkan alam untuk kelangsunagn hidupnya. Sandang, pangan dan papan, semuanya bermula dari alam. Artinya, ada hubungan manusia yang sangat tergantung dengan alam. Bagaimana jika alam sumberdayanya habis? Musnahlah…

Beberapa hari lalu kita memperingati hari Kartini, pembebasan perempuan agar tetap bermatabat. Berteriak lantang “Stop, Eksploitasi perempuan!”. Perempuan adalah sama seperti laki-laki, sesama manusia yang harus tetap di perjuangkan hak-haknya, jangan kemudian ada saling ekspoloitir antar sesama. Tanpa menafikan, sebagai manusia jangalah egois hanya memperjuangkan hak antar manusia. Alam sama dengan kalian, memiliki hak yang harus diperjuangkan. Saat manusia menyebut dirinya zoon politicon, makhluk yang tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain(sesama manusia), bukan berarti lupa bahwa ia tidak akan bertahan hidup tanpa alam.

Ada yang perlu diperbaiki, memandang hubungan manusia tidaklah semata hubungan ekspolitatif, tetapi juga apresiatif. Kelangsungan hidup alam, adalah kelangsungan hidup manusia. Kesibukan membela sesama manusia, hingga lupa dengan alam tidak-lah sepenuhnya disalahkan. Kini saatnya ke-alpa-an akan alam selama ini di-taubat-i, mulailah beteriak “Stop, Eksploitasi alam!”. Dan tidak sekedar itu, mulailah dari diri sendiri. Ibda’ bi nafsik…

Pewajiban Jilbab, Menjajah ruang publik

Memakai Jilbab adalah syari’at. Hanya satu yang tidak mensyari’atkan jilbab, bukan Islam.
(Pk Wahyudin. Dosen PAI Fak. Ekonomi Unsoed)

Tentu kita tahu bahwa pluralitas adalah realita tak terbantahkan bagi Indonesia, bahkan di ruang yang paling kecilpun tetap tidak ada yang namanya identik. Begitupun Founding Fathers bangsa kita rupanya sudah memahami betul akan kebinekaan bagi Indonesia, dipilihnya Pancasila ‘Bhineka Tunggal Eka’ sebagai dasar negara dan mereka juga tidak gegabah seperti orde baru yang membatasi agama cukup lima.

Fakultas Ekonomi Universitas Jendral Soedirman, sebagai sebuah lembaga pendidikan milik negara penganut welfare State yang menjamin pendidikan warga negaranya jelas memiliki konsekuensi harus menerima berbagai perbedaan dan tetap menjamin kebutuhan pokok seperti pendidikan menjadi hak warganya tanpa pandang bulu, siapa dan penganut aliran apapun. Hal serupa juga harusnya tertanam di kelas Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam (PAI), perbedaan pendapat tentang syari’at pastinya tidak membatasi ruangan tersebut.

Kepada Profetika, Pak Wahyudin selaku dosen PAI mengaku bahwa ia mewajibkan Jilbab di kelasnya, dengan alasan adalah kewajiban diri seorang dosen muslim dan menganggap bahwa ”Memakai Jilbab adalah syari’at. Hanya satu yang tidak mensyari’atkan jilbab, bukan islam”. Baginya kelas PAI bukanlah ruang publik, melainkan ruang khusus bagi pemeluk agama islam, sekalipun tanpa melihat lebih bahwa dalam islam terjadi perbedaan pendapat tentang Jilbab sebagai syari’at atau sebuah budaya. Generalisasinya yang cukup gegabah, menganggap bahwa yang tidak mensyari’atkan jilbab bukanlah islam, mendasarinya untuk tanpa ragu mewajibkan jilbab setiap mahasiswinya

Berbeda dengan Qurais Shihab, kearifannya melihat dinamisasi dalam islam tercermin melaui bukunya “Jilbab Pakaian Wanita Muslimah” dengan mengisyaratkan bahwa jilbab masih ikhtilaf (terjadi ragam pendapat). Perkembangan islam yang tidak sekedar membentuk spiritualitas kepada tuhannya namun juga membentuk numerologi atau hubungan antar manusia (Hablum minannas), jelas akan berbeda pada setiap dimensi waktu maupun ruang. Imposible, sebuah pola kehidupan sekarang sama persis dengan pola kehidupan masa mendatang, dan tidak mungkin Indonesia bergeografis tropis akan berkehidupan sama dengan Arab yang berpadangpasir. Fluiditas (kelenturan) sebuah peradaban akan selalu terjadi ketika bertemu dengan sebuah kondisi yang berbeda dengan sebelumnya, terlebih sebagai makhluk berakal budi tentu manusia menjalani waktu hidupnya dengan penuh dinamisasi.

Lebih tepatnya, “Universitas bukanlah tempat penataran!” menurut Abdul Munir Mulkhan, guru besar di Universitas Islam Negeri Jogjakarta ketika wawancara di KBR 68H Jakarta. Pertama-tama perlu ditegaskan bahwa sesungguhnya sebuah perguruan tinggi dibangun dan dipelihara untuk mengembangkan tingkat intelektualitas. Salah satu bentuk intelektualitas itu adalah lewat berpikir kritis. Perlu adanya public sphere yang bersifat netral sehingga tercipta sebuah dialektika yang diikuti oleh berbagai kalangan yang berbeda untuk berdialog, mencipta karya kritis. Bukan kemudian melakukan konfrontasi dalam bentuk penjajahan netralitas ruang kuliah, yang pada akhirnya menghasilkan para mahasiswa wujûduhu ka`adamihi (wujudnya seperti tidak berwujud).

Realitanya seperti sebuah paradoks, saat Unversitas dicita-citakan menghasilkan kaum intelektual kritis; Pak Wahyudin dikelasnya justru melakukan pemburaman immune (netralitas) ruang kuliah dengan pewajiban jilbabnya. Ketika Profetika menanyakan apakah bapak tahu aliran keagaman masing-masing mahasiswa bapak? “tidak tahu, wallahualam bissawab” Jawabnya. Artinya, secara tidak langsung dia tidak bisa menjamin adanya kesamaan pandangan dalam kelas tersebut atau dengan kata lain, ruangan tersebut masih dibilang ruang publik, sekalipun parsial sesama muslim. Hanya karena generalisasinyalah — yang tidak mensyari’atkan jilbab adalah bukan islam– tidak searif Qurais Shihab tentang jilbab masih ikhtilaf, kemudian Pak Wahyudin menjajah ruang publik tersebut.

Bukan sebuah masalah ketika pewajiban tersebut bersifat pribadi, tidak membawa dampak akademik dan mengatasnamakan ruang kuliah, atau hingga mahasiswinya tertekan secara psikologis. Namun, sekalipun dia tidak menyiratkan bahwa pemakaian jilbab tidak berpengaruh pada nilai, sebuah jawaban retoris justru disampaikannya kepada Profetika “Allah saja memberi pahala kepada hambanya yang taat, apalagi saya”. Ditambah lagi melihat kenyataan banyak mahasiswinya yang lepas jilbab setelah kuliahnya-pun belum mampu ia jawab; apakah karena nilai atau yang lainnya.

Sengaja, Salah menatap

Jalan, jelasnya mengadap kedepan
Bukan sengaja, menengok ke kanan

Kebetulan atau Kesalahan
Saling menatap, itu pun tidak sengaja
Memang kebetulan, tapi itu kesalahan

Ingin atau Enggan untuk berpaling
Hanya sekilas menatap, Itu sengaja
Sekalipun paling-memalingkan muka juga akhirnya.

Kebetulan saling menatap
Sengaja berpaling

Betulkah ini salah?
Atau ini betul-betul kesalahan disengaja?