Senin, 14 Juli 2008

NEW DOMAIN

Sekarang saya sudah punya domain sendiri. Pindah Cuiy....

Selasa, 29 April 2008

CD Dialog antar Umat Beragama Arimatea, Konfrontatif

Mencari harapan, untukku menyaksikan
umat yang berkuak ini kembali bersatu hati

buanglah yang keruh, ambilah yang jernih

tiada yang lebih berharga selain dari perpaduan

lupakanlah segala persengketaan

buka kembali tali persaudaraan….
Bersatu kita teguh, bercerai kita roboh…

[Raihan]

Terdapat tiga buah CD dalam satu paket dari Arimatea dengan judul yang sangat menyolok; "Debat, Muallaf vs Murtadin". Sekilas, sudah jelas ini merupakan debat bukan dialog dan bersifat saling mempertentangkan ajaran masing-masing, terlebih dengan penggunaan kata Versus (VS). Itikad pembuatan CD ini adalah jauh dari mempererat tali persaudarran antar sesama, sesama anak adam dan sesama bangsa Indonesia. Kemudian yang terjadi adalah proses konfrontatif, bukan dialogis sekalipun itu tanpa friksi-friksi fisik, tapi konfrontasi dan saling ejek dalam verbal.

Namun, saat CD diputar awalnya disenandungkan lagu dari Raihan yang liriknya mengandaikan indahnya tali persaudaraan dan kebersamaan. "Bersatu kita teguh, bercerai kita roboh…". Terhenyak sebuah pertanyaan, apa sebenarnya isi CD terebut? Berlahan mulailah terlihat Backdrop acara debat ini, ternyata bukanlah acara debat, namun acara dialog antar umat beragama yang secra teks bisa diartikan ber-orientasi pada kerukunan. Selama ini memang CD-CD dari Arimatea, yang beredar di khalayak umum merupakan bagian dari penyelamatan terhadap kristenisasi. Lalu mengapa acara tersebut bertema dialog bukan debat?

Acara yang ditayangkan di CD tersebut bertempat di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, dengan mayoritas 90% audience-nya adalah muslim. Suasana berlangsung sangat ramai bahkan panas dimana kedua belah pihak saling menghina kitab suci dan ajaran agama. Dari pembicara Muslim melihat ketidak wajaran ajaran kristen dan tidak konsistensinya kitab suci mereka, begitupun dari tokoh kristiani melihat Al-Qur'an penuh dengan ketidak pastian dan islam adalah agama yang rancu.

Hina-menghina ini akan terus berlangsung karena bagaimanapun ketika acara lintas Agama pembicaranya adalah para Muallaf dan Murtadin, tentu yang dibicarakan adalah jeleknya agama yang lalu, dan sempurnanya agama yang sekarang dipeluk. Artinya tidak mungkin ada bahasan selain saling menjelek-jelekan agama yang lain. Sekalipun kearifan muncul ketika yang disampaikan oleh pihak kristiani, mereka mengatakan "dialog ini bagus untuk mempersatukan kita anak adam, umat beragama dan bangsa Indonesia dalam sebuah pluralitas". Akan tetapi karena terbawa suasana, mereka-pun akhirnya kembali saling mendebat teologi masing-masing.

Ketika di akhir, dua orang dari umat kristiani --yang bukan menjadi nara sumber-- kembali mengingatkan, bahkan bisa dibilang mengkritisi acara tersebut.; "Bukankah disini tertulis sebagai acara dialog yang berusaha mencari titik temu kerukunan, bukan saling mendebat, mencari perbedaan dan menghina agama lain?!" Selanjutnya ditambahi oleh temannya yang berlatar belakang seorang akademisi sains, ia mengatakan bahwa pertemuan antar umat beragama sebaiknya adalah saling menjelaskan bagaimana agama tersebut, bukan bagaimana agama orang lain. Dari muslim menjelaskan bagaimana islam, dan Kristiani menjelaskan keindahan Kristen, jangan kemudian muslim berbicara kristen menurut dia, dan sebaliknya kristiani berbicara islam.

Sangat berbeda, pertemuan antar umat beragama yang di prakarsai oleh Arimatea ini, dengan sebuah dialog antar umat tokoh beragama [bukan seorang murtadin dan muallaf, yang jelas saling menentang] yang di fasilitsai oleh JIL pada 17 maret lalu di Teater Utam Kayu. JIL menghadirkan Romo Magnis [Katolik], Martin Lukito Sinaga [Protestan] dan K.H Husein Muhammad [Islam], bertiga duduk dalam satu meja memanjang membicarakan sebuah perjuangan Hak Manusia dalam Kebebasan berkeyakian, atau beragama dan tidak beragama. Sebuah suasana yang sangat hangat terbentuk dalam ruangan tersebut, dimana tiga agama yang berbeda bersatu padu memperjaungkan satu hal yang sama. Terlewati sudah batas-batas pembeda, tidak lagi [bahkan tidak samasekali] perbedaan yang diperlihatkan diantara mereka.

Sesekali ,Romo Magnis meledek Martin Lukito sebagai orang sesat, namun itu bukanlah ucapan yang saling menyesatkan. Melainkan justru sedang menyindir oarang-orang yang menganggap kelompoknya paling suci dan lainnya sesat, hina dan masuk neraka. Kadangkala K.H Husein Muhammad yang suka serius juga di buat tertawa oleh canda yang dibuat moderator tentang islam sebagai plagiator Yahudi. Bagi mereka tabir-tabir pembeda bukanlah masalah, tiada lagi kata hina-menghina. Karena inilah keindahan dari dinamisasi kehidupan, yang harus dipertahankan agar manusia mampu memanusiakan dirinya dan perbedaan adalah sarana bersaing dalam fastabiqul khairat.

Elit Agamawan Lebih Suka Cara Instan

Budaya instan mungkin sedang mengerogoti para elit agamawan bangsa ini, bukan saja para remaja dan masyarakat umum yang selalu ingin mendapatkan sesuatu secara instan, seperti cepat kaya, cepat sukses, cepat bahagia bahkan cepat dapat pasangan hidup. Dan kini elit agamawan dalam ketakutannya, dengan gegabah menginginkan agar manusia cepat beradab, atau juga disebut 'beradab secara instan'.

Ketakutan dan kegegabahan para elit agamawan tercermin ketika menghadapi zaman modern terutama pasca reformasi, dimana masyarakat makin kian terbuka. Norma lama, norma orde baru atau bahkan pancasila mulai dianggap ideologi usang yang sudah tidak menjamin, kadang sering kali juga dicemooh. Selanjutnya kondisi ini menimbulkan kekosongan identitas dan juga kekosongan simbolik, lalu kebingungan masyarakat pun semakin tidak terbendung. Maka lahirlah kultus-kultus identitas dan klaim-klaim absolutisme norma partikular, untuk mencari benang merah antar identitas masing-masing. Pada saat inilah agama dan identitas partikular dianggap sebagai alternatif yang paling tepat.

Dengan menguatnya norma dan identitas partikular yang saling mengklaim sebagai alternatif paling tepat, sesekali juga menyesatkan yang lain. Maka terjelaskanlah bahwa situasi ini merupakan utopisme berlebihan, dan ingin dirubah dalam tempo waktu yang singkat, atau instan. Problem solving secara instan tentunya tidak mengidentifikasi masalah secara mendalam serta memberi solusi yang tepat pada akar masalah, bahkan membuat masalah yang lebih besar lagi.

Misalnya dalam fenomena diwajibkannya jilbab, atau syari'at sebagai solusi untuk menjaga martabat perempuan. Maka sebenarnya akar masalahnya adalah saat dimana martabat perempuan yang mulai termarginalkan, bukan jilbab yang tidak terbudayakan atau syari'at islam yang tidak ditanamkan. Karena kenyataannya yang menjadi problem utama adalah budaya inferioritas perempuan dibawah laki-laki, perspektif bahwa perempuan adalah komoditas dan hak-hak perempuan yang dibatasi oleh budaya. Oleh karena itu, ini sesungguhnya merupakan problem mainstrem, bukan simbol-simbol atau norma partikular syari'at. Permasalahn ini akan lebih tepat dihadapi dengan perjuangan Gender -tidak instan-, yang selalu memperjuangkan pembangunan mainstream dikalangan masyarakat kita akan kesetaraan relasi laki-laki dan perempuan, hak yang sama, dekonstruksi budaya patriarki dan disertai dengan advokasi-advokasi konkrit.

Jika melihat sejarah, cara instan para elit kita tidak lain adalah menggunakan cara yang sama dipakai oleh Hitler, Stalin dan Soeharto. Mereka adalah para penganut utilitarian, berupaya membebaskan dan mensejahterakan rakyat, justru malah menindas rakyat sendiri. Elit kita dengan alih-alih menjaga martabat perempuan justru mengekang keberadaan perempuan itu sendiri. Semangat fasisme dan utilitarian sebenarnya tidaklah jauh berbeda dengan semangat instan para elit dengan simbol-simbol, identitas dan norma-norma partilkularnya.

Jumat, 25 April 2008

Hari Bumi

Sekilas, Peduli Alam

Tiada seekorpun binatang melata di bumi, dan tiada seekorpun burung yang terbang dengan kedua sayapnya melainkan mereka itu umat seperti kamu sekalian
( QS. Al-an’am/6:38
}

Hari ini manusia mungkin sangat egois, serakah dengan tekhnologi sebagai alat mempermudah kehidupan sesama manusia. Alam dijadikan komoditas, sumberdaya yang melimpah ruah dan tiada habisnya ribuan tahun diekspolitasi. Apa yang tidak manusia konsumsi jika bukan dari alam. Memang benar, manusia harus memanfaatkan alam untuk kelangsunagn hidupnya. Sandang, pangan dan papan, semuanya bermula dari alam. Artinya, ada hubungan manusia yang sangat tergantung dengan alam. Bagaimana jika alam sumberdayanya habis? Musnahlah…

Beberapa hari lalu kita memperingati hari Kartini, pembebasan perempuan agar tetap bermatabat. Berteriak lantang “Stop, Eksploitasi perempuan!”. Perempuan adalah sama seperti laki-laki, sesama manusia yang harus tetap di perjuangkan hak-haknya, jangan kemudian ada saling ekspoloitir antar sesama. Tanpa menafikan, sebagai manusia jangalah egois hanya memperjuangkan hak antar manusia. Alam sama dengan kalian, memiliki hak yang harus diperjuangkan. Saat manusia menyebut dirinya zoon politicon, makhluk yang tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain(sesama manusia), bukan berarti lupa bahwa ia tidak akan bertahan hidup tanpa alam.

Ada yang perlu diperbaiki, memandang hubungan manusia tidaklah semata hubungan ekspolitatif, tetapi juga apresiatif. Kelangsungan hidup alam, adalah kelangsungan hidup manusia. Kesibukan membela sesama manusia, hingga lupa dengan alam tidak-lah sepenuhnya disalahkan. Kini saatnya ke-alpa-an akan alam selama ini di-taubat-i, mulailah beteriak “Stop, Eksploitasi alam!”. Dan tidak sekedar itu, mulailah dari diri sendiri. Ibda’ bi nafsik…

Pewajiban Jilbab, Menjajah ruang publik

Memakai Jilbab adalah syari’at. Hanya satu yang tidak mensyari’atkan jilbab, bukan Islam.
(Pk Wahyudin. Dosen PAI Fak. Ekonomi Unsoed)

Tentu kita tahu bahwa pluralitas adalah realita tak terbantahkan bagi Indonesia, bahkan di ruang yang paling kecilpun tetap tidak ada yang namanya identik. Begitupun Founding Fathers bangsa kita rupanya sudah memahami betul akan kebinekaan bagi Indonesia, dipilihnya Pancasila ‘Bhineka Tunggal Eka’ sebagai dasar negara dan mereka juga tidak gegabah seperti orde baru yang membatasi agama cukup lima.

Fakultas Ekonomi Universitas Jendral Soedirman, sebagai sebuah lembaga pendidikan milik negara penganut welfare State yang menjamin pendidikan warga negaranya jelas memiliki konsekuensi harus menerima berbagai perbedaan dan tetap menjamin kebutuhan pokok seperti pendidikan menjadi hak warganya tanpa pandang bulu, siapa dan penganut aliran apapun. Hal serupa juga harusnya tertanam di kelas Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam (PAI), perbedaan pendapat tentang syari’at pastinya tidak membatasi ruangan tersebut.

Kepada Profetika, Pak Wahyudin selaku dosen PAI mengaku bahwa ia mewajibkan Jilbab di kelasnya, dengan alasan adalah kewajiban diri seorang dosen muslim dan menganggap bahwa ”Memakai Jilbab adalah syari’at. Hanya satu yang tidak mensyari’atkan jilbab, bukan islam”. Baginya kelas PAI bukanlah ruang publik, melainkan ruang khusus bagi pemeluk agama islam, sekalipun tanpa melihat lebih bahwa dalam islam terjadi perbedaan pendapat tentang Jilbab sebagai syari’at atau sebuah budaya. Generalisasinya yang cukup gegabah, menganggap bahwa yang tidak mensyari’atkan jilbab bukanlah islam, mendasarinya untuk tanpa ragu mewajibkan jilbab setiap mahasiswinya

Berbeda dengan Qurais Shihab, kearifannya melihat dinamisasi dalam islam tercermin melaui bukunya “Jilbab Pakaian Wanita Muslimah” dengan mengisyaratkan bahwa jilbab masih ikhtilaf (terjadi ragam pendapat). Perkembangan islam yang tidak sekedar membentuk spiritualitas kepada tuhannya namun juga membentuk numerologi atau hubungan antar manusia (Hablum minannas), jelas akan berbeda pada setiap dimensi waktu maupun ruang. Imposible, sebuah pola kehidupan sekarang sama persis dengan pola kehidupan masa mendatang, dan tidak mungkin Indonesia bergeografis tropis akan berkehidupan sama dengan Arab yang berpadangpasir. Fluiditas (kelenturan) sebuah peradaban akan selalu terjadi ketika bertemu dengan sebuah kondisi yang berbeda dengan sebelumnya, terlebih sebagai makhluk berakal budi tentu manusia menjalani waktu hidupnya dengan penuh dinamisasi.

Lebih tepatnya, “Universitas bukanlah tempat penataran!” menurut Abdul Munir Mulkhan, guru besar di Universitas Islam Negeri Jogjakarta ketika wawancara di KBR 68H Jakarta. Pertama-tama perlu ditegaskan bahwa sesungguhnya sebuah perguruan tinggi dibangun dan dipelihara untuk mengembangkan tingkat intelektualitas. Salah satu bentuk intelektualitas itu adalah lewat berpikir kritis. Perlu adanya public sphere yang bersifat netral sehingga tercipta sebuah dialektika yang diikuti oleh berbagai kalangan yang berbeda untuk berdialog, mencipta karya kritis. Bukan kemudian melakukan konfrontasi dalam bentuk penjajahan netralitas ruang kuliah, yang pada akhirnya menghasilkan para mahasiswa wujûduhu ka`adamihi (wujudnya seperti tidak berwujud).

Realitanya seperti sebuah paradoks, saat Unversitas dicita-citakan menghasilkan kaum intelektual kritis; Pak Wahyudin dikelasnya justru melakukan pemburaman immune (netralitas) ruang kuliah dengan pewajiban jilbabnya. Ketika Profetika menanyakan apakah bapak tahu aliran keagaman masing-masing mahasiswa bapak? “tidak tahu, wallahualam bissawab” Jawabnya. Artinya, secara tidak langsung dia tidak bisa menjamin adanya kesamaan pandangan dalam kelas tersebut atau dengan kata lain, ruangan tersebut masih dibilang ruang publik, sekalipun parsial sesama muslim. Hanya karena generalisasinyalah — yang tidak mensyari’atkan jilbab adalah bukan islam– tidak searif Qurais Shihab tentang jilbab masih ikhtilaf, kemudian Pak Wahyudin menjajah ruang publik tersebut.

Bukan sebuah masalah ketika pewajiban tersebut bersifat pribadi, tidak membawa dampak akademik dan mengatasnamakan ruang kuliah, atau hingga mahasiswinya tertekan secara psikologis. Namun, sekalipun dia tidak menyiratkan bahwa pemakaian jilbab tidak berpengaruh pada nilai, sebuah jawaban retoris justru disampaikannya kepada Profetika “Allah saja memberi pahala kepada hambanya yang taat, apalagi saya”. Ditambah lagi melihat kenyataan banyak mahasiswinya yang lepas jilbab setelah kuliahnya-pun belum mampu ia jawab; apakah karena nilai atau yang lainnya.

Sengaja, Salah menatap

Jalan, jelasnya mengadap kedepan
Bukan sengaja, menengok ke kanan

Kebetulan atau Kesalahan
Saling menatap, itu pun tidak sengaja
Memang kebetulan, tapi itu kesalahan

Ingin atau Enggan untuk berpaling
Hanya sekilas menatap, Itu sengaja
Sekalipun paling-memalingkan muka juga akhirnya.

Kebetulan saling menatap
Sengaja berpaling

Betulkah ini salah?
Atau ini betul-betul kesalahan disengaja?

Ampuni aku

Segunung luput, selangit alpa
Watak batu, Sedusta fatamorgana

Berlebih kekurangan
Kurang kelebihan

Sekalipun aku luput
Tiada alpa aku minta maaf
Sekeras batu aku memohon ampun
Sungguh, aku bukan fatamorgana

Aku merasa….
Berlebihan disangsi
Kurang diampuni

Jajanan

Jajanan…
Mendoan, Es Teh, Nasi Goreng,
Limaratus, Seribu, Tiga Ribu

Jajanan…
Vodka, PSK, Villa
Duapuluh lima ribu, Dua ratus ribu, Satu juta dua ratus ribu

Jajanan…
Diktat, Buku, Kuliah
Enam puluh ribu, Tiga ratus ribu, Sepuluh juta

Masa depan Budaya JL.Perjuangan??


Jalan perjuangan, siapa yang masih ingat? Dan siapa yang tidak tahu?


Satu tahun lalu, khususnya para panitia baksos tentu tahu dimana itu jalan perjuangan? Disana ada nuansa totalitas panitia; dalam diskusi-diskusi, penggalangan dana serta koordinasi untuk praksis peduli sesama. Di tahun-tahun sebelumnya-pun jalan ini tidak hanya diramaikan saat baksos maupun ospek, namun juga diskusi UKM-UKM, Pembahasan isu-isu, Konsolidasi aksi, dan berbagai bentuk apresiasi suara-suara mahasiswa masih lantang diterikan di jalan ini. Semangat kepedulian sesama semakin memantapkan bahwa jalan utama kampus Fisip ini adalah ‘Jalan Perjuangan’. Bukan sekedar jalan pada umumnya; yang hanya jalanan dengan berjejer kendaran markir ditepinya, akan tetapi terdapat pembeda yang jelas, karena tersirat makna lebih; sebagai cerminan kultur Fisip adalah kampus bermahasiswa yang tidak pragmatis.

Jalan perjuangan kini panas –terik matahari tidak lagi dihalangi oleh pepohonan–, selain itu ia juga tidak ada bedanya dengan jalan lain; ramai namun bisu, karena sepeda motor sebanyak apapun, sampai kapanpun tidak pernah bicara tentang rakyat ataupun tentang sesama.

Kampus ini bukanlah tempat penataran layaknya pendidikan keterampilan atau kursus-kursus, Fisip mengemban tanggungjawab intelektual sebagai harapan untuk membawa perubahan menggapai cita keadilan dan kesejahteraan negeri. Sebatas mempelajari teori kemudian menganalisis dan dikumpulkan dimeja dosen, jika tanpa ruang dialetik (ide maupun praksis) tentu bagaimana mungkin mahasiswa menjadi kritis. Kemudian bagaimana pula bisa dibanyangkan betapa putusasanya bangsa ini saat menanti harapan kepada para mahasiswa.

Untuk sekedar kelompok tutorial Teori Sosiologi Modern saja kesulitan. Hanya ada 2 tempat nyaman yang bisa dipakai umum dan gratis; depan kantor MAP dan Sarkofagus, itu-pun harus bergantian dengan kelompok lain. Ini baru satu mata kuliah, di Sosiologi setidaknya ada 10 mata kuliah/semester dan masing-masing paling sedikit terbagi menjadi 5 kelompok diskusi atau keseluruhan berjumlah 50 kelompok. Belum lagi menengok jurusan lainnya, UKM-UKM, HMJ dan forum-forum latent yang tidak sedikit.

Bukan masalah, ketika Jalan Perjuangan kemudian hanya menjadi tempat parkir sedangkan kultur yang tertanam di Jalan Perjuangan itu tidaklah luntur. Sayangnya realita bebicara penuh ironi. Melihat bertambahnya kantin; bukan Saung, bukan Sarkofagus atau tempat yang lebih dibutuhkan mahasiswa. Apakah budaya diskusi menuju praksis peduli sesama ataukah budaya konsumerisme, yang ingin dibentuk birokrat kita dikampus ini?

Hubungan Agama-Budaya

=Tugas singkat Sos Agama, Malese poll...=


Agama, Budaya dan Masyarakat jelas tidak akan berdiri sendiri, ketiganya memiliki hubungan yang sangat erat dalam dialektikanya; selaras dalam menciptakan ataupun kemudian saling menegasikan.
Proses dialektika yang berjalan menurut Berger, dialami agama dengan tiga bentuk. Pertama, energi eksternalisasi yang dimiliki individu dalam bermasyarakat kemudian membentuk sebuah bentuk kedua, Objektivasi atas kreasi manusia dan akhirnya berputar kembali dalam bentuk ketiga, dengan arus informasi yang menginternalisasi kedalam individu-individu.
Dalam dialektika ini, bukan berarti stagnan. Hasil eksternalisasi yang ter-Objektivikasi selalu mengalami perkembangan, manusia tidak pernah puas atas hasil yang telah dicapai. Dalam pandangan yang Idealis atu perspektif, manusia memiliki pengandaian yang normatif yang selalu tidak berhenti dengan satu ciptaan. Ketidak terjebakan manusia dalam imanensi dan selalu berhadapan dengan keabsurdan membuat manusia –dan Agama yang juga berada dalam dialektika ini– akhirnya bersifat dinamis.
Begitu juga budaya, proses dialektika yang dialami bersama Agama tidaklah jauh berbeda bahkan sama. Tiga bentuk; Eksternalisasi, Objektivikasi dan Internalisasi juga merupakan proses bagaimana budaya terbentuk dan bagaimana ia berhubungan dengan Agama.

Fluiditas (kelenturan) Budaya-Agama

Saat Budaya ataupun Agama dianggap sebagai an sich, manusia terlahir di dunia mau tidak mau harus menerima warisan sebuah ide-ide, sistem tingkah laku, dan artefak yang sebelumnya telah ada. Berbeda dengan ketika budaya ataupun agama dimaknai sebagai proses, keduanya dipandang dalam bentuk kontinyuitas perkembangan, kebangkitan, dan keruntuhan sutau kebudayaan.
Kebudayaan dan Agama sebagai proses adalah realitas yang tidak terhenti satu jejak saja. Fluiditas keduanya merupakan jejak nostalgia dari sebelumnya untuk titik tolak menuju jejak berikut yang bersifat menambahi, merubah atau bahkan meniadakan.

Seorang Anak jadi Korban Agama

Saat Tuhan Maha tinggi, Maha agung dan Maha pemberi juga pengasih. Sedangkan agama memberikan Parameter seberapa tinggi kesalehan dan seberapa jauhnya kesesatan manusia. Itu berarti, Maha agung tidak butuh Agama, Maha Pemberi memberikannya untuk Manusia

Disebuah desa seberang sungai Serayu. Ane** (bukan nama sebenarnya) harus terkurung didalam rumah, karena vonis Gila dan Sesat oleh Pemuka agama sebagai elit dan kemudian tentunya diikuti masyarakat setempat termasuk Orang tuanya yang awam. Interaksi yang merupakan syarat mutlak makhluk sosial hanya bisa dilakukannya dengan orang-orang dirumah, bahkan dengan adiknya sendiri pun sempat dilarang.

Tahukah? Seperti anak guru pada umunya, Ane adalah seorang anak rajin bahkan sangat berprestasi didesa itu; saat SD dari kelas 1-6 menduduki rangking pertama, di SLTP berada 3 besar dan berlanjut masuk SMA Favorit. Meskipun sama-sama berprestasi, Ana berbeda dengan kakaknya, ia lebih suka berteman, berorganisasi dan mengabdikan ilmunya kepada masyarakat.

Berangkat dari orang tua yang kurang mengenal agama-menurut warga bapaknya adalah keturunan PKI yang jarang Shalat-, lalu sebagai pelajar yang getol berorganisasi, Ane menemukan ROHIS di SMAnya. Bagaikan mendapat mendapat oase di tengah padang pasir, siCerdas ini pun rajin mengikuti kajian dan kegiatan serta melahap banyak buku yang beredar di antara teman-temannya.

Sepulangnya dari sekolah, setelah maghrib ia bagi-bagikan ilmunya dengan teman sejawat di desa dan mengajar ngaji anak-anak tetangga. Sering kali Ane memarahi anak-anak kecil karena suka bergurau, dengan alasan “bergurau itu adalah perbuatan Lagha sia-sia”. Pengetahuan agama yang dibawanya memang berbeda dengan mayoritas berkembang dimasyarakat sekitar rumahnya, karena dianggap terlalu radikal maka kemudian dia divonis Sesat bahkan Gila dengan dalih terhanyut buku-buku dan suka memarahi anak kecil. Sebab Sesat dan Gila yang disandangya inilah memaksa keluarga sendiri mengurungnya dalam rumah.

Manusia, bukan hewan yang bisa dikurung. bahkan katak pun tak mau berada terus-menerus dalam tempurung. Apa lagi Ane !!! Sayangnya, dengan bismillahirrohmanirrokhiim atas nama Tuhan Maha penyayang lagi pengasih, agama dijadikan alat untuk tidak mengasihani dan mengurung seorang anak manusia dalam sempitnya rumah ditengah-tengah Dunia yang luas tak terbatas.

Saat Tuhan Maha Tinggi, Maha Agung dan Maha Pemberi juga Pengasih. Sedangkan agama memberikan parameter seberapa tinggi kesalehan dan seberapa jauhnya kesesatan manusia. Itu Artinya, Maha Agung tidak butuh agama, Maha Pemberi memberikannya untuk manusia. Ketika agama membangun kehidupan tidak berperi-kemanusian adalah keterbalikan, bahkan dengan begitu Tuhan Pengasih menjadi bunuh diri?

Jika keterbalikan ini berlangsung, bagaimana jika salah seorang penganut keagamaan mayoritas di desa Ane hidup atau menjadi seorang anak ditengah-tengah masyarakat dengan mentalitas sama namun mayoritas berkeagamaan seperti Ane?! Bisa dibayangkan, akan ada kurung-mengurung anak diantara dua desa. Seperti perang yang saling menyandra musuhnya.

Siapapun tidak menghendaki ketidak-perimanusian, sebagai manusia dalam ketidak berdayaannya terhadap keyakinan. Akuilah realitas lain yang berbeda.

——————————————————————————————————-

*Mahasiswa Sosiologi 2006 asal Negeri Sebrang Serayu (Banyumas), saat ini hanya aktif di Pers Alternatif (Solidaritas) dan isu-isu Sosial Agama.

**Kisah nyata, disebuah desa di sebrang timur bendungan kali Serayu. Nama disamarkan, menghormati keluarganya, karena mereka anggap keadan putrinya sebagai aib.

“Ayat-ayat Cinta”

Film dan Novelnya, silahkan tonton dan baca….!!!

“Al-Qur’an tidak pernah berbicara, melainkan laki-laki dan perempuan itulah yang bebicara” Ali bin Abi Thalib (saat perang siffin)

Seorang teman mengirimkan pesan ke E-mail saya (juga kebanyak E-mail lain) sebuah artikel yang dimuat di majalah Risalah Mujahidin,edisi 17 shafar 1429H [februari-maret 2008] dan web site: swaramuslim.com. Artikel ini menyatakan bahwa Novel yang ditulis oleh Habiburrahman el-Shirazy tersebut agar di jauhi karena mengemban misi Pluralisme dan Kebebasan yang membahayakan umat islam.

Menyorot sebuah adegan yang diceritakan “Ayat-ayat Cinta” pada bagian ketiga di bawah judul Kejadian di Dalam Metro; terjadi sebuah cekcok antara rombongan turis Amerika dengan penumpang asli Mesir yang meledakkan amarahnya kepada mereka, sebagai ganti kejengkelan kepada pemerintah Amerika yang arogan dan membantai umat Islam di Afghanistan dan Palestina.

Namun menurut penulis artikel, dalam cekcok tersebut sang-Pengarang novel yang juga pernah nyantri di Al-Anwar Demak dituduh memanipulasi dalil agama dengan menyalahkan orang Mesir, dan memposisikan turis non-Muslim yang berkunjung ke negara-negara berpenduduk Islam seperti Mesir sebagai Ahludz Dzimmah (orang yang dilindungi) yang memiliki hak-hak kekebalan diplomatik.

***

I

Tidak perlu saling tuduh memanipulasi, sepakat dengan Ali bin Abi Thalib saat perang siffin“Al-Qur’an tidak pernah berbicara, melainkan laki-laki dan perempuan itulah yang berbicara” maka sebelumnya saya menanyakan perihal ahludz dzimah ke tiga tokoh agama yang saya anggap kompeten (seorang Pengasuh Ponpes, dosen ilmu agama islam, Ustadz kondang) dari tiga hanya dua yang hampir sama bahkan dibeberapa hal ketiganya berbeda berpendapat. Saya kira sama dengan Habiburrahman el-Sirazy, untuk berbeda dan tidak sembarangan dalam memaknai ahludz dzimah setelah menyelesaikan Postgraduate Diploma (S2)nya di Kairo Mesir.

II

Menanggapi keseluruhan artikel yang anti-Pluralisme, tanpa melihat ahludz dzimah atau bukan. Pluralisme adalah jalan ter-strategis mencapai kerukunan umat manusia yang tidak sebatas ‘di Dalam Metro’. Terutama di Indonesia, karena “untuk konteks Indonesia, munculnya konflik dan maraknya politik agama adalah bukti bertahannya agama di wilayah publik” (Benyamin F. Intan, 2006). Dengan begitu, perlu adanya peran masing-masing agama atau keyakinan dalam ruang publik sehingga terbingkai sebuah toleransi.

Sulitnya, masing-masing agama mengklaim ultimate truth (kebenaran absolute). Mengangkat salah satu kebenaran absolute dan menggugat yang lain adalah diskriminasi, setiap individu dan kelompok berhak untuk hidup serta mengamalkan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya. Oleh karena itu yang pantas saat ini; diperlukan di ruang publik sebuah nilai yang mengikat semua nilai dalam kesatuan, yaitu pengakuan realitas lain yang berbeda tanpa disamakan, Pluralisme.

II

Kebebasan (liberalisme) dalam stigma yang berkembang begitu menakutkan. “Kebebasan adalah hak segala bangsa” sejarahnya telah banyak merenggut jutaan nyawa manusia, kisah Hindu untuk Islam di India sehingga Khasmir memisahkan diri dan juga Misi Pembebasan; Amerika menginvasi Iraq dan Afganistan, sudah sangat membuat trauma manusia di manapun. Termasuk dalam fiksi “Ayat-ayat Cinta”.

Sebenarnya apa dan bagaimana sesungguhnya liberalisme itu? Isaiah Berlin, seorang pemikir besar Liberalisme abad 20 membedakan kebebasan menjadi dua jenis; Kebebasan Negatif dan Kebebasan Positif.

Isaiah Berlin memposisikan diri sebagai penganut Kebebasan Negatif. Negative liberty, mengartikan akan tiadanya kekangan dan koersi dari luar atas nama apapun, individu justru bisa mengaktualisasikan secara penuh apapun yang diyakininya. Sehingga bisa berkembang keragaman yang paling kaya. Yang terpenting, kebebasan negatif adalah memungkinkan situasi “bebas memilih”, suatu situasi yang justru esensial bagi kita, karena kita akan selalu berada dalam pluralisme yang indah dan damai

Sedangkan Positive Liberty, diartikan sebagai kebebasan yang mengarah keluar atau kebebasan bertujuan. Seperti yang dijelaskan dua tokoh Utilitarian Jeremy Bentham dan JS. Mill. Bentham, menjelaskan kebebasan adalah terpenuhinya hasrat sehingga manusia akan semakin bebas jika hasratnya dikurangi. Sedang Mill menitikberatkan pada tercapainya sebanyak-banyaknya kemaslahatan untuk sebanyak-banyaknya individu. Misalkan, demi kemaslahatan negara, maka Amerika menginvasi negara lain, atau dengan jalan memaksakan ideologi tertentu kepada negara lain. Kebebasan seperti inilah yang menimbulkan stigma, karena mepunyai nalar dominatif atau menindas. []

***