Jumat, 25 April 2008

“Ayat-ayat Cinta”

Film dan Novelnya, silahkan tonton dan baca….!!!

“Al-Qur’an tidak pernah berbicara, melainkan laki-laki dan perempuan itulah yang bebicara” Ali bin Abi Thalib (saat perang siffin)

Seorang teman mengirimkan pesan ke E-mail saya (juga kebanyak E-mail lain) sebuah artikel yang dimuat di majalah Risalah Mujahidin,edisi 17 shafar 1429H [februari-maret 2008] dan web site: swaramuslim.com. Artikel ini menyatakan bahwa Novel yang ditulis oleh Habiburrahman el-Shirazy tersebut agar di jauhi karena mengemban misi Pluralisme dan Kebebasan yang membahayakan umat islam.

Menyorot sebuah adegan yang diceritakan “Ayat-ayat Cinta” pada bagian ketiga di bawah judul Kejadian di Dalam Metro; terjadi sebuah cekcok antara rombongan turis Amerika dengan penumpang asli Mesir yang meledakkan amarahnya kepada mereka, sebagai ganti kejengkelan kepada pemerintah Amerika yang arogan dan membantai umat Islam di Afghanistan dan Palestina.

Namun menurut penulis artikel, dalam cekcok tersebut sang-Pengarang novel yang juga pernah nyantri di Al-Anwar Demak dituduh memanipulasi dalil agama dengan menyalahkan orang Mesir, dan memposisikan turis non-Muslim yang berkunjung ke negara-negara berpenduduk Islam seperti Mesir sebagai Ahludz Dzimmah (orang yang dilindungi) yang memiliki hak-hak kekebalan diplomatik.

***

I

Tidak perlu saling tuduh memanipulasi, sepakat dengan Ali bin Abi Thalib saat perang siffin“Al-Qur’an tidak pernah berbicara, melainkan laki-laki dan perempuan itulah yang berbicara” maka sebelumnya saya menanyakan perihal ahludz dzimah ke tiga tokoh agama yang saya anggap kompeten (seorang Pengasuh Ponpes, dosen ilmu agama islam, Ustadz kondang) dari tiga hanya dua yang hampir sama bahkan dibeberapa hal ketiganya berbeda berpendapat. Saya kira sama dengan Habiburrahman el-Sirazy, untuk berbeda dan tidak sembarangan dalam memaknai ahludz dzimah setelah menyelesaikan Postgraduate Diploma (S2)nya di Kairo Mesir.

II

Menanggapi keseluruhan artikel yang anti-Pluralisme, tanpa melihat ahludz dzimah atau bukan. Pluralisme adalah jalan ter-strategis mencapai kerukunan umat manusia yang tidak sebatas ‘di Dalam Metro’. Terutama di Indonesia, karena “untuk konteks Indonesia, munculnya konflik dan maraknya politik agama adalah bukti bertahannya agama di wilayah publik” (Benyamin F. Intan, 2006). Dengan begitu, perlu adanya peran masing-masing agama atau keyakinan dalam ruang publik sehingga terbingkai sebuah toleransi.

Sulitnya, masing-masing agama mengklaim ultimate truth (kebenaran absolute). Mengangkat salah satu kebenaran absolute dan menggugat yang lain adalah diskriminasi, setiap individu dan kelompok berhak untuk hidup serta mengamalkan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya. Oleh karena itu yang pantas saat ini; diperlukan di ruang publik sebuah nilai yang mengikat semua nilai dalam kesatuan, yaitu pengakuan realitas lain yang berbeda tanpa disamakan, Pluralisme.

II

Kebebasan (liberalisme) dalam stigma yang berkembang begitu menakutkan. “Kebebasan adalah hak segala bangsa” sejarahnya telah banyak merenggut jutaan nyawa manusia, kisah Hindu untuk Islam di India sehingga Khasmir memisahkan diri dan juga Misi Pembebasan; Amerika menginvasi Iraq dan Afganistan, sudah sangat membuat trauma manusia di manapun. Termasuk dalam fiksi “Ayat-ayat Cinta”.

Sebenarnya apa dan bagaimana sesungguhnya liberalisme itu? Isaiah Berlin, seorang pemikir besar Liberalisme abad 20 membedakan kebebasan menjadi dua jenis; Kebebasan Negatif dan Kebebasan Positif.

Isaiah Berlin memposisikan diri sebagai penganut Kebebasan Negatif. Negative liberty, mengartikan akan tiadanya kekangan dan koersi dari luar atas nama apapun, individu justru bisa mengaktualisasikan secara penuh apapun yang diyakininya. Sehingga bisa berkembang keragaman yang paling kaya. Yang terpenting, kebebasan negatif adalah memungkinkan situasi “bebas memilih”, suatu situasi yang justru esensial bagi kita, karena kita akan selalu berada dalam pluralisme yang indah dan damai

Sedangkan Positive Liberty, diartikan sebagai kebebasan yang mengarah keluar atau kebebasan bertujuan. Seperti yang dijelaskan dua tokoh Utilitarian Jeremy Bentham dan JS. Mill. Bentham, menjelaskan kebebasan adalah terpenuhinya hasrat sehingga manusia akan semakin bebas jika hasratnya dikurangi. Sedang Mill menitikberatkan pada tercapainya sebanyak-banyaknya kemaslahatan untuk sebanyak-banyaknya individu. Misalkan, demi kemaslahatan negara, maka Amerika menginvasi negara lain, atau dengan jalan memaksakan ideologi tertentu kepada negara lain. Kebebasan seperti inilah yang menimbulkan stigma, karena mepunyai nalar dominatif atau menindas. []

***

Tidak ada komentar: