Jumat, 25 April 2008

Masa depan Budaya JL.Perjuangan??


Jalan perjuangan, siapa yang masih ingat? Dan siapa yang tidak tahu?


Satu tahun lalu, khususnya para panitia baksos tentu tahu dimana itu jalan perjuangan? Disana ada nuansa totalitas panitia; dalam diskusi-diskusi, penggalangan dana serta koordinasi untuk praksis peduli sesama. Di tahun-tahun sebelumnya-pun jalan ini tidak hanya diramaikan saat baksos maupun ospek, namun juga diskusi UKM-UKM, Pembahasan isu-isu, Konsolidasi aksi, dan berbagai bentuk apresiasi suara-suara mahasiswa masih lantang diterikan di jalan ini. Semangat kepedulian sesama semakin memantapkan bahwa jalan utama kampus Fisip ini adalah ‘Jalan Perjuangan’. Bukan sekedar jalan pada umumnya; yang hanya jalanan dengan berjejer kendaran markir ditepinya, akan tetapi terdapat pembeda yang jelas, karena tersirat makna lebih; sebagai cerminan kultur Fisip adalah kampus bermahasiswa yang tidak pragmatis.

Jalan perjuangan kini panas –terik matahari tidak lagi dihalangi oleh pepohonan–, selain itu ia juga tidak ada bedanya dengan jalan lain; ramai namun bisu, karena sepeda motor sebanyak apapun, sampai kapanpun tidak pernah bicara tentang rakyat ataupun tentang sesama.

Kampus ini bukanlah tempat penataran layaknya pendidikan keterampilan atau kursus-kursus, Fisip mengemban tanggungjawab intelektual sebagai harapan untuk membawa perubahan menggapai cita keadilan dan kesejahteraan negeri. Sebatas mempelajari teori kemudian menganalisis dan dikumpulkan dimeja dosen, jika tanpa ruang dialetik (ide maupun praksis) tentu bagaimana mungkin mahasiswa menjadi kritis. Kemudian bagaimana pula bisa dibanyangkan betapa putusasanya bangsa ini saat menanti harapan kepada para mahasiswa.

Untuk sekedar kelompok tutorial Teori Sosiologi Modern saja kesulitan. Hanya ada 2 tempat nyaman yang bisa dipakai umum dan gratis; depan kantor MAP dan Sarkofagus, itu-pun harus bergantian dengan kelompok lain. Ini baru satu mata kuliah, di Sosiologi setidaknya ada 10 mata kuliah/semester dan masing-masing paling sedikit terbagi menjadi 5 kelompok diskusi atau keseluruhan berjumlah 50 kelompok. Belum lagi menengok jurusan lainnya, UKM-UKM, HMJ dan forum-forum latent yang tidak sedikit.

Bukan masalah, ketika Jalan Perjuangan kemudian hanya menjadi tempat parkir sedangkan kultur yang tertanam di Jalan Perjuangan itu tidaklah luntur. Sayangnya realita bebicara penuh ironi. Melihat bertambahnya kantin; bukan Saung, bukan Sarkofagus atau tempat yang lebih dibutuhkan mahasiswa. Apakah budaya diskusi menuju praksis peduli sesama ataukah budaya konsumerisme, yang ingin dibentuk birokrat kita dikampus ini?

Tidak ada komentar: