Saat Tuhan Maha tinggi, Maha agung dan Maha pemberi juga pengasih. Sedangkan agama memberikan Parameter seberapa tinggi kesalehan dan seberapa jauhnya kesesatan manusia. Itu berarti, Maha agung tidak butuh Agama, Maha Pemberi memberikannya untuk Manusia
Disebuah desa seberang sungai Serayu. Ane** (bukan nama sebenarnya) harus terkurung didalam rumah, karena vonis Gila dan Sesat oleh Pemuka agama sebagai elit dan kemudian tentunya diikuti masyarakat setempat termasuk Orang tuanya yang awam. Interaksi yang merupakan syarat mutlak makhluk sosial hanya bisa dilakukannya dengan orang-orang dirumah, bahkan dengan adiknya sendiri pun sempat dilarang.
Tahukah? Seperti anak guru pada umunya, Ane adalah seorang anak rajin bahkan sangat berprestasi didesa itu; saat SD dari kelas 1-6 menduduki rangking pertama, di SLTP berada 3 besar dan berlanjut masuk SMA Favorit. Meskipun sama-sama berprestasi, Ana berbeda dengan kakaknya, ia lebih suka berteman, berorganisasi dan mengabdikan ilmunya kepada masyarakat.
Berangkat dari orang tua yang kurang mengenal agama-menurut warga bapaknya adalah keturunan PKI yang jarang Shalat-, lalu sebagai pelajar yang getol berorganisasi, Ane menemukan ROHIS di SMAnya. Bagaikan mendapat mendapat oase di tengah padang pasir, siCerdas ini pun rajin mengikuti kajian dan kegiatan serta melahap banyak buku yang beredar di antara teman-temannya.
Sepulangnya dari sekolah, setelah maghrib ia bagi-bagikan ilmunya dengan teman sejawat di desa dan mengajar ngaji anak-anak tetangga. Sering kali Ane memarahi anak-anak kecil karena suka bergurau, dengan alasan “bergurau itu adalah perbuatan Lagha sia-sia”. Pengetahuan agama yang dibawanya memang berbeda dengan mayoritas berkembang dimasyarakat sekitar rumahnya, karena dianggap terlalu radikal maka kemudian dia divonis Sesat bahkan Gila dengan dalih terhanyut buku-buku dan suka memarahi anak kecil. Sebab Sesat dan Gila yang disandangya inilah memaksa keluarga sendiri mengurungnya dalam rumah.
Manusia, bukan hewan yang bisa dikurung. bahkan katak pun tak mau berada terus-menerus dalam tempurung. Apa lagi Ane !!! Sayangnya, dengan bismillahirrohmanirrokhiim atas nama Tuhan Maha penyayang lagi pengasih, agama dijadikan alat untuk tidak mengasihani dan mengurung seorang anak manusia dalam sempitnya rumah ditengah-tengah Dunia yang luas tak terbatas.
Saat Tuhan Maha Tinggi, Maha Agung dan Maha Pemberi juga Pengasih. Sedangkan agama memberikan parameter seberapa tinggi kesalehan dan seberapa jauhnya kesesatan manusia. Itu Artinya, Maha Agung tidak butuh agama, Maha Pemberi memberikannya untuk manusia. Ketika agama membangun kehidupan tidak berperi-kemanusian adalah keterbalikan, bahkan dengan begitu Tuhan Pengasih menjadi bunuh diri?
Jika keterbalikan ini berlangsung, bagaimana jika salah seorang penganut keagamaan mayoritas di desa Ane hidup atau menjadi seorang anak ditengah-tengah masyarakat dengan mentalitas sama namun mayoritas berkeagamaan seperti Ane?! Bisa dibayangkan, akan ada kurung-mengurung anak diantara dua desa. Seperti perang yang saling menyandra musuhnya.
Siapapun tidak menghendaki ketidak-perimanusian, sebagai manusia dalam ketidak berdayaannya terhadap keyakinan. Akuilah realitas lain yang berbeda.
——————————————————————————————————-
*Mahasiswa Sosiologi 2006 asal Negeri Sebrang Serayu (Banyumas), saat ini hanya aktif di Pers Alternatif (Solidaritas) dan isu-isu Sosial Agama.
**Kisah nyata, disebuah desa di sebrang timur bendungan kali Serayu. Nama disamarkan, menghormati keluarganya, karena mereka anggap keadan putrinya sebagai aib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar