Selasa, 29 April 2008

Elit Agamawan Lebih Suka Cara Instan

Budaya instan mungkin sedang mengerogoti para elit agamawan bangsa ini, bukan saja para remaja dan masyarakat umum yang selalu ingin mendapatkan sesuatu secara instan, seperti cepat kaya, cepat sukses, cepat bahagia bahkan cepat dapat pasangan hidup. Dan kini elit agamawan dalam ketakutannya, dengan gegabah menginginkan agar manusia cepat beradab, atau juga disebut 'beradab secara instan'.

Ketakutan dan kegegabahan para elit agamawan tercermin ketika menghadapi zaman modern terutama pasca reformasi, dimana masyarakat makin kian terbuka. Norma lama, norma orde baru atau bahkan pancasila mulai dianggap ideologi usang yang sudah tidak menjamin, kadang sering kali juga dicemooh. Selanjutnya kondisi ini menimbulkan kekosongan identitas dan juga kekosongan simbolik, lalu kebingungan masyarakat pun semakin tidak terbendung. Maka lahirlah kultus-kultus identitas dan klaim-klaim absolutisme norma partikular, untuk mencari benang merah antar identitas masing-masing. Pada saat inilah agama dan identitas partikular dianggap sebagai alternatif yang paling tepat.

Dengan menguatnya norma dan identitas partikular yang saling mengklaim sebagai alternatif paling tepat, sesekali juga menyesatkan yang lain. Maka terjelaskanlah bahwa situasi ini merupakan utopisme berlebihan, dan ingin dirubah dalam tempo waktu yang singkat, atau instan. Problem solving secara instan tentunya tidak mengidentifikasi masalah secara mendalam serta memberi solusi yang tepat pada akar masalah, bahkan membuat masalah yang lebih besar lagi.

Misalnya dalam fenomena diwajibkannya jilbab, atau syari'at sebagai solusi untuk menjaga martabat perempuan. Maka sebenarnya akar masalahnya adalah saat dimana martabat perempuan yang mulai termarginalkan, bukan jilbab yang tidak terbudayakan atau syari'at islam yang tidak ditanamkan. Karena kenyataannya yang menjadi problem utama adalah budaya inferioritas perempuan dibawah laki-laki, perspektif bahwa perempuan adalah komoditas dan hak-hak perempuan yang dibatasi oleh budaya. Oleh karena itu, ini sesungguhnya merupakan problem mainstrem, bukan simbol-simbol atau norma partikular syari'at. Permasalahn ini akan lebih tepat dihadapi dengan perjuangan Gender -tidak instan-, yang selalu memperjuangkan pembangunan mainstream dikalangan masyarakat kita akan kesetaraan relasi laki-laki dan perempuan, hak yang sama, dekonstruksi budaya patriarki dan disertai dengan advokasi-advokasi konkrit.

Jika melihat sejarah, cara instan para elit kita tidak lain adalah menggunakan cara yang sama dipakai oleh Hitler, Stalin dan Soeharto. Mereka adalah para penganut utilitarian, berupaya membebaskan dan mensejahterakan rakyat, justru malah menindas rakyat sendiri. Elit kita dengan alih-alih menjaga martabat perempuan justru mengekang keberadaan perempuan itu sendiri. Semangat fasisme dan utilitarian sebenarnya tidaklah jauh berbeda dengan semangat instan para elit dengan simbol-simbol, identitas dan norma-norma partilkularnya.

Tidak ada komentar: